Entri Populer

Kamis, 31 Maret 2011

Rumah Dome / Rumah Teletabis


Rumah ini dibangun atas sumbangan World Association of Non-Governmental Organizations (Wango) dengan donatur tunggal Muhammad Ali Alabar. Ali Alabar, adalah pemilik Emaar Property Dubai, Uni Emirates Arab.

Rumah ini dinamai Dome. Seperti namanya, rumah ini berbentuk setengah lingkaran yang telungkup. Kalau anda atau anak anda penggemar serial boneka telletubies yang booming beberapa waktu lalu, bentuknya hampir sama dengan rumah ini.

Bentuk rumah ini memang unik. Mengingatkan akan rumah igloo, milik suku Eskimo. Berbentuk bulat, seperti parabola telungkup. Desa ini semula tak ada yang mengenal. Dusun Ngelepen berada di kaki pebukitan yang memanjang dari Bantul ke Klaten. Dusun ini berada di pelosok. Dari jalan utama Solo-Yogyakarta, masih membutuhkan perjalanan lebih dari tujuh kilometer.

Semenjak gempa 27 juni silam, 71 rumah di dusun Ngelepen yang ada di kaki bukit nyaris tidak layak huni. Hingga kemudian LSM Wango berbaik hati melakukan uji pembuatan rumah dome untuk relokasi warga Ngelepen.

Kini kompleks rumah dome sudah kokoh berdiri. Sebuah pemandangan yang fantastik jika melihat jejeran rumah dome ini dari ketinggian. Seperti telur angsa yang tercecer. Beruntung memang warga yang menempati rumah ini. LSM Wango benar-benar sudah memperhitungkan secara cermat. Rumah berbentuk setengah lingaran yang telungkup tersebut, tentunya tak akan mudah goyah meski gempa menggoyang-goyang lokasi ini.

Struktur bangunan yang telungkup plus beton tebal, membuat rumah ini kuat sekaligus sejuk meski panas menyengat. Berada di atas bangunan berukuran 6x6, rumah ini hanya mampu bisa menampung dua kamar tidur, dan satu dapur. Sementara, karena sisa atap yang tinggi, LSM Wango membelahnya menjadi tingkat yang bisa dijadikan sebagai ruang keluarga.

“Kebetulan, saya memakai lantai atas untuk nonton televisi,” kata Usman.

Jika siang sejuk karena aliran udara yang mengalir plus beton yang memantulkan panas, tak demikian jika malam. Konon, jika malam, rumah ini tak lagi sejuk. Untuk itu, di bagian atap beton, LSM Wango membuatkan semacam cerobong untuk sirkulasi udara.

Rumah dome ini satu-satunya di Indonesia. Bahkan di dunia, hanya ada lima negara yang memiliki rumah dome. Kali pertama di bangun di India, Nicaragua, Haiti, Paraguay dan terakhir di Indonesia. Menurut rencana, negara keenam yang akan menikmati rumah dome adalah Korea.

Menarik memang. Dan karena ini satu-satunya di Indonesia, semenjak di resmikan, sudah banyak warga yang datang sekedar untuk menonton rumah “teletubies” tersebut. “Banyak orang hanya sekedar lewat, membuka jendela mobil atau foto-foto,” pungkas Usman (fian)

sumber

Senin, 28 Maret 2011

Pantai Sundak


Pantai Sundak tak hanya memiliki pemandangan alam yang mengasyikkan, tetapi juga menyimpan cerita. Nama Sundak ternyata mengalami evolusi yang bukti-buktinya bisa dilacak secara geologis.

Agar tahu bagaimana evolusinya, maka pengunjung mesti tahu dulu kondisi pinggiran Pantai Sundak dulu dan kini. Di bagian pinggir barat pantai ketika YogYES berkunjung terdapat masjid dan ruang kosong yang sekarang dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Sementara di sebelah timur terdapat gua yang terbentuk dari batu karang berketinggian kurang lebih 12 meter. Memasuki gua, akan dijumpai sumur alami tempat penduduk mendapatkan air tawar.

Wilayah yang diuraikan di atas sebelum tahun 1930 masih terendam lautan. Konon, air sampai ke wilayah yang kini dibangun masjid, batu karang yang membentuk gua pun masih terendam air. Seiring proses geologi di pantai selatan, permukaan laut menyusut dan air lebih menjorok ke laut. Batu karang dan wilayah di dekat masjid akhirnya menjadi daratan baru yang kemudian dimanfaatkan penduduk pantai untuk aktivitas ekonominya hingga saat ini.

Ada fenomena alam unik akibat aktivitas tersebut yang akhirnya menjadi titik tolak penamaan pantai ini. Jika musim hujan tiba, banyak air dari daratan yang mengalir menuju lautan. Akibatnya, dataran di sebelah timur pantai membelah sehingga membentuk bentukan seperti sungai. Air yang mengalir seperti mbedah (membelah) pasir. Bila kemarau datang, belahan itu menghilang dan seiring dengannya air laut datang membawa pasir. Fenomena alam inilah yang menyebabkan nama pantai menjadi Wedibedah (pasir yang terbelah). Saat YogYES datang wedi tengah tidak terbelah.

Perubahan nama berlangsung beberapa puluh tahun kemudian. Sekitar tahun 1976, ada sebuah kejadian menarik. Suatu siang, seekor anjing sedang berlarian di daerah pantai dan memasuki gua karang bertemu dengan seekor landak laut. Karena lapar, si anjing bermaksud memakan landak laut itu tetapi si landak menghindar. Terjadilah sebuah perkelahian yang akhirnya dimenangkan si anjing dengan berhasil memakan setengah tubuh landak laut dan keluar gua dengan rasa bangga. Perbuatan si anjing diketahui pemiliknya, bernama Arjasangku, yang melihat setengah tubuh landak laut di mulut anjing. Mengecek ke dalam gua, ternyata pemilik menemukan setengah tubuh landak laut yang tersisa. Nah, sejak itu, nama Wedibedah berubah menjadi Sundak, singkatan dari asu (anjing) dan landak.

Tak dinyana, perkelahian itu membawa berkah bagi penduduk setempat. Setelah selama puluhan tahun kekurangan air, akhirnya penduduk menemukan mata air. Awalnya, si pemilik anjing heran karena anjingnya keluar gua dengan basah kuyup. Hipotesanya, di gua tersebut terdapat air dan anjingnya sempat tercebur ketika mengejar landak. Setelah mencoba menyelidiki dengan beberapa warga, ternyata perkiraan tersebut benar. Jadilah kini, air dalam gua dimanfaatkan untuk keperluan hidup penduduk. Dari dalam gua, kini dipasang pipa untuk menghubungkan dengan penduduk. Temuan mata air ini mengobati kekecewaan penduduk karena sumur yang dibangun sebelumnya tergenang air laut.

Nah, bila kondisi tahun 1930 saja seperti yang dikatakan di atas, dapat diperkirakan kondisi ratusan tahun sebelumnya. Tentu sangat banyak organisme laut yang memanfaatkan bagian bawah karang yang kini menjadi gua dan wilayah yang kini menjadi daratan. Karenanya, banyak arkeolog percaya bahwa sebagai konsekuensi dari proses geologis yang ada, banyak organisme laut yang tertinggal dan kini tertimbun menjadi fosil. Soal fosil apa yang ditemukan, memang hingga kini belum banyak penelitian yang mengungkapkan.

Selain menawarkan saksi bisu sejarahnya, Sundak juga menawarkan suasana malam yang menyenangkan. Anda bisa menikmati angin malam dan bulan sambil memesan ikan mentah untuk dibakar beramai-ramai bersama teman. Dengan membayar beberapa ribu, Anda dapat membeli kayu untuk bahan bakar. Kalau malas, pesan saja yang matang sehingga siap santap. Yang jelas, tak perlu bingung mencari tempat menginap. Pengunjung bisa tidur di mana saja, mendirikan tenda, atau tidur saja di bangku warung yang kalau malam tak terpakai. Kegelapan tak perlu diributkan, bukankah membosankan jika hidup terus terang benderang?

Kalau mau, berinteraksi dengan penduduk bisa menjadi suatu pencerahan. Anda bisa mengetahui bagaimana penduduk hidup, kebudayaan mereka, dan tentu saja orang baru yang mungkin saja mampu mengubah pandangan hidup anda. Menemui Mbah Tugiman yang biasa berjaga di tempat parkir atau Mbah Arjasangku bisa jadi pilihan. Mereka merupakan salah satu sesepuh di pantai Sundak. Bercakap dengan mereka membuat anda tidak sekedar menyaksikan bukti sejarah tetapi juga mendapat cerita dari orang yang menyaksikan bagaimana sejarah terukir. Datanglah, semua yang di sana sudah menunggu! (YogYES.COM)

Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Sutrisno
Copyright © 2006 YogYES.COM

sumber

Pantai Kuwaru


Satu lagi pantai di Kabupaten Bantul yang harus dimasukkan dalam agenda wisata anda. Pantai Kuwaru, pantai yang terletak di Dusun Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, DIY ini sayang jika dilewatkan.

Bermain ombak atau sekadar duduk-duduk di pinggir pantai menikmati birunya laut dan ombak yang berkejaran bisa menjadi obat mujarab untuk menghilangkan kepenatan anda yang sehari-hari disibukkan dengan rutinitas kerja atau belajar.

Berkunjung ke pantai memang tak lengkap jika tidak bermain air, apalagi saat ombak datang dan menyentuh tubuh kita tentu menyenangkan sekali. Meski demikian demi keselamatan anda sendiri sebaiknya jangan mandi atau berenang sampai ke tengah laut. Untuk membersihkan diri dari air laut atau pasir yang menempel, di sekitar pantai terdapat sejumlah kamar mandi umum.

Setelah puas bermain air, jika perut terasa lapar tak usah bingung, di areal Pantai Kuwaru banyak penjual yang menjajakan beragam jenis makanan mulai dari snack kemasan pabrik, kue tradisional hingga gorengan. Untuk anda yang kehausan pun tersedia banyak pilihan, aneka es hingga ronde banyak dijumpai. Menurut para pedagang yang berada di sekitar pantai, jumlah pengunjung yang datang tetap lumayan meskipun saat itu bukan musim liburan atau hari minggu sehingga mereka tidak khawatir akan merugi. Selain itu, di sekitar pantai terdapat beberapa warung makan yang siap mengolah aneka hasil laut. Ikan segar hasil tangkapan para nelayan ini bisa anda nikmati dalam aneka masakan. Soal harga tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan restoran seafood di kota. Melihat potensi hasil laut yang besar, tak heran jika ke depannya Pantai Kuwaru akan dikembangkan menjadi dermaga pelabuhan ikan yang terintegrasi.

Wajar jika wisatawan banyak datang ke Pantai Kuwaru, selain memiliki panorama yang indah sekaligus alternatif tempat kuliner laut, cuaca Pantai Kuwaru termasuk sejuk. Tak seperti kebanyakan pantai yang gersang dengan udara panas menyengat, di pantai ini tumbuh banyak pohon akasia dan pohon cemara. Pepohonan ini memang sengaja ditanam untuk megurangi abrasi yang dari tahun ke tahun semakin parah. Peningkatan jumlah wisatawan sebaiknya juga diiringi dengan perbaikan sarana dan prasarana seperti perbaikan jalan dan papan penunjuk menuju Pantai Kuwaru.


sumber :

Selasa, 15 Maret 2011

Candi Sambisari, Candi di Bawah Tanah


CANDI SAMBISARI terletak di desa Sambisari Kelurahan Purwomartani, lebih kurang 12 km dari pusat Yogyakarta . Nama Sambisari adalah nama sebuah daerah dengan areal persawahan yang subur di Daerah Istimewa Yogayakarta dimana candi itu berada. Untuk mencapai lokasi candi yang terletak sekitar 12 km ke arah timur dari kota Yogyakarta di sebelah utara dari jalan utama antara Yogyakarta dan Solo, dapat ditempuh dengan naik bus jurusan Yogya-Solo sampai kilometer 10 dimana terdapat papan penunjuk jalan menuju candi. Dari tepi jalan besar ini, perjalanan masih sekitar 2 km lagi yang dapat ditempuh dengan naik alat transportasi lokasl, seperti ojek atau dokar/sado.

Candi Sambisari diketemukan sekitar tahun 1966 takkala seorang petani dengan tidak sengaja telah membenturkan cangkulnya pada puncak candi yang terbenam di tanah peladangannya. tetapi dia sempat keheranan saat cangkulnya menyentuh benda keras berupa batu-batu berukir yang diduga merupakan bagian dari reruntuhan sebuah candi. Nama petani itu adalah Karyoinangun yang pertama kali menemukan kembali sebuah kompleks candi yang kemudian diberi nama candi Sambisari sesuai nama daerah ditemukannya candi tersebut. Menindaklanjuti penemuan tersebut oleh pihak Balai Arkeologi Yogyakarta dilakukan penelitian dan penggalian. Dari hasil penggalian tersebut pada Juli 1966 diperoleh kepastian bahwa daerah tersebut terdapat sebuah situs candi dan dinyatakan sebagai daerah suaka budaya. Setelah itu dimulailah proses penyusunan kembali reruntuhan kompleks candi yang runtuh karena goncangan dan terpendam dari material letusan gunung Merapi ini diperkirakan dari penelitian geologis terhadap material batuan dan tanah yang menimbun komplek candi. Tahun 1987 pemugaran dan melakukan rekontruksi ulang terhadap kompleks candi dapat diselesaikan dengan posisi candi pada kedalaman 6,5 meter dari permukaan tanah sekitar atau sering juga candi Sambisari disebut sebagai candi bawah tanah. Tetapi sebagian ahli arkeologi memperkirakan dulunya situs candi ada di atas permukaan tanah, seperti halnya candi-candi yang lainnya.

Berdasarkan penelitian geologis terhadap batuan candi dan tanah yang telah menimbunnya selama ini, candi setinggi 6 m ini telah terbenam oleh material Gunung Merapi dalam letusan yang hebat pada tahun 1006. Candi Sambisari merupakan candi Hindu dari abad ke-10 yang diperkirakan dibangun oleh seorang Raja dari dinasti Sanjaya, dengan patung Shiwa sebagai mahaguru menepati bilik utamanya.

Kompleks candi Sambisari berlokasi berdekatan dengan bangunan candi yang lain misal Prambanan, Kalasan, Sari. Lokasi candi Sambisari berjarak sekitar 5 km dari kompleks candi Prambanan kearah barat atau sekitar 14 km dari pusat kota Yogyakarta ke arah timur. Candi Sambisari merupakan candi Hindu beraliran Syiwaistis dari abad ke-X dari keluarga Syailendra ini berada di wilayah kabupaten Sleman propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat penggalian kompleks candi Sambisari juga ditemukan benda-benda bersejarah lainnya, misalnya perhiasan, tembikar, prasasti lempengan emas. Dari penemuan tersebut didapat perkiraan bahwa candi Sambisari dibangun tahun 812-838 M saat pemerintahan Raja Rakai Garung dari Kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno). Kondisi kompleks candi Sambisari sangat terawat dan bersih dan banyak wisatawan lokal, domestik maupun mancanegara banyak berdatangan mengunjunginya dan menjadi satu paket kunjungan wisata budaya dengan kompleks candi lain di sekitarnya khususnya candi Prambanan yang sudah lebih terkenal.

Kompleks candi Sambisari saat ini tampak dengan empat buah bangunan candi dengan dibatasi oleh tembok mengelilinginya dengan total luas 50 x 48m pada posisi di sekeliling tanah yang telah diadakan penggalian. Pada bangunan candi utama yang terbesar memiliki ketinggian 7,5 meter dan berbentuk bujur sangkar yang berukuran 15,65 x 13,65m pada bagian bawah candinya, sedang badan candi berukuran 5 x5m. Diperkirakan kompleks candi tidak hanya seluas itu tetapi bisa lebih luas jika diadakan penggalian lebih lanjut tetapi dikwatirkan tidak dapat menyalurkan air untuk dibuang karena posisinya lebih rendah daripada sungai yang ada di sebelah baratnya. Pintu masuk ke dalam kompleks candi Sambisari pada keempat sisi bujur sangkar dengan menuruni tangga.

Candi Sambisari berada di bawah permukaan tanah sedalam 6,5 meter. Padahal kenyataannya tinggi candi hanya 7,5 meter. Karenanya, jika dilihat dari samping, candi ini seakan muncul dari bawah tanah. Bagian bawah candi berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 13,65 m x 13,65 m. Sedangkan badan candi berukuran 5 m x 5 m. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke IX - X M. Karena letusan Gunung Merapi di tahun 1006, daerah di sekitar ini tertutup oleh bahan-bahan yang berasal dari gunung berapi.

Pintu masuk candi menhadap ke arah barat. Tangga untuk masuk dilengkapi dengan sayap. Di ujung sayap tangga terdapat relief Makara yang disangga oleh dua belah tangan makhluk kate. Keunikan yang lain, candi ini tidak memiliki pilar penyangga. Sehingga bagian dasarnya sekaligus berfungsi sebagai pilar penyangga candi. Di bagian ini terdapat selasar yang mengelilingi badan candi, dan memiliki 12 anak tangga.

Pada bagian luar badan candi terdapat relung-relung untuk menaruh patung. Yang masih ada kini adalah patung Durga di sebelah utara, patung Ganesha di sisi timur, dan patung Agastya di bagian selatan. Dua relung lain yang ada di kanan dan kiri pintu, untuk patung dewa penjaga pintu, yaitu Mahakala dan Nadisywara. Sayang sekali kedua patung itu sudah tidak ada di tempatnya lagi. Sedangkan pada bilik di dalam badan candi terdapat patung Yoni dan Lingga berukuran besar.

Selain candi induk tersebut, di depan candi ada 3 buah candi perwara atau candi pendamping. Ukuran dasarnya 4,8 m x 4,8 m, dengan tinggi 5 meter. Namun candi-candi perwara itu belum dipugar sempurna. Sedangkan di seputar candi terdapat pagar tembok batu putih berukuran 50 m x 48 m. Saat ini saluran pembuangan air telah selesai dibangun, sehingga selama musim hujan candi tidak terbenam air.

Ketika diadakan penggalian candi Hindu Syiwaistis ini, ditemukan juga benda-benda bersejarah. Di antaranya beberapa tembikar, perhiasan, cermin logam serta prasasti lempengan emas. Dari situ diperoleh prakiraan, bahwa Candi Sambisari dibangun tahun 812-838 M, sewaktu Kerajaan Mataram Hindu atau Mataram Kuno diperintah Raja Rakai Garung dari Dinasti Syailendra.

Pada candi utama pintu masuk menghadap ke barat dan terdapat tangga dengan bentuk sayap sisi kanan-kirinya, pada ujung tangga terdepan terdapat hiasan relief Makara disangga oleh dua belah tangan makhluk kate. Berbeda dengan candi lainnya, candi ini tidak terdapat pondasi atau pilar penyangga candi sehingga bagian dasar candi juga merupakan pilar penyangga candi. Pada bilik terdapat patung Syiwa Mahaguru dan juga patung Lingga-Yoni dalam ukuran besar. Patung-patung yang ditempatkan di bagian luar badan candi terdapat relung-relung, patung yang masih ada yaitu patung Durga di sisi utara, Agastya di sisi selatan dan Ganesha di sisi timur. Sedang diperkirakan ada dua patung penjaga pintu Mahakala dan Nadisywara di kanan-kiri pintu yang saat ini tidak ada. Sedang 3 candi kecil lainnya ada di depan candi induk, yaitu candi perwara atau pendamping yang berukuran 4,8 x 4,8 m pada sisi dasarnya dengan tinggi 5 m. Pada saat ini candi pendamping ini belum direkonstruksi ulang secara sempurna. Jalan menuju ke lokasi kompleks candi dapat dilalui oleh segala jenis kendaraan, namun belum ada kendaraan umum yang melewati tempat ini sehingga ditempuh dengan ojek atau dokar/delman sekitar 2 km dari tepi jalan Yogya-Solo. Untuk mencapai lokasi candi, dapat ditempuh dengan naik bus jurusan Yogya-Solo sampai kilometer 10 dimana terdapat papan penunjuk jalan menuju candi.

Keunikan Candi

Candi ini terletak sekitar 12 km ke arah timur dari kota Yogyakarta di sebelah utara dari jalan utama antara Yogyakarta dan Solo. Candi Sambisari adalah candi yang sangat unik, candi ini terletak 6,5 meter di bawah permukaan tanah.Itu sebabnya, sering juga candi Sambisari disebut sebagai candi bawah tanah. Tetapi sebagian ahli arkeo-logi memperkirakan dulunya situs candi ada di atas permukaan tanah, seperti halnya candi-candi yang lainnya.

Candi ini dibangun pada abad ke-10. Karena letusan Gunung Merapi di tahun 1006, daerah di sekitar ini tertutup oleh bahan-bahan yang berasal dari gunung berapi.

Bangunan candi utama yang terbesar memiliki ketinggian 7,5 meter dan berbentuk bujur sangkar yang berukuran 15,65 x 13,65m pada bagian bawah candinya, sedang badan candi berukuran 5 x5m.

http://candidiy.tripod.com/sambisari.htm

Sabtu, 12 Maret 2011

Tahukah Anda Candi Abang ???


Candi Abang adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Banyunibo dan Candi Barong, yaitu di dusun Sentonorejo , kelurahan Jogotirto, kecamatan Berbah, Sleman, Yogyakarta, tidak jauh dari bandara Adisucipto. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi yang berbentuk seperti piramid ini dinamakan Candi Abang karena terbuat dari batubata yang berwarna merah (abang dalam bahasa Jawa), dan diperkirakan mempunyai umur yang lebih muda dari candi-candi Hindu lainnya.

Bentuk candi ini berupa segi empat dengan ukuran 36 m x 34 meter, sekarang banyak ditumbuhi rerumputan sehingga dari jauh nampak mirip seperti gundukan tanah atau bukit kecil. Pada waktu pertama kali ditemukan, dalam candi ini terdapat arca dan alas yoni lambang dewa Siwa berbentuk segidelapan (tidak berbentuk segi empat, seperti biasanya) dengan sisi berukuran 15 cm. Beberapa orang menganggap Candi Abang merupakan tempat penyimpanan harta karun pada zaman dahulu kala, oleh karena itu sering dirusak dan digali oleh orang tidak bertanggung jawab (pada bulan November 2002, misalnya) yang mencari harta peninggalan sejarah dan barang berharga.